Jumat, 12 April 2013

Sains Ateis Versus Sains Islam


Rabu, 27 Maret 2013, 14:04 WIB 

Sains Islam (ilustrasi)
A+ | Reset | A-
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Wendi Zarman
Suatu ketika, Napoleon bertanya kepada Laplace (m 1827), seorang matematikawan besar Prancis tentang siapakah Pengarang alam semesta yang ajaib ini. Laplace menjawab, “Saya tidak membutuhkan hipotesis itu.” (Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme, Bandung : Mizan, 2009).
Bagi Laplace, ada atau tidak ada Tuhan bukanlah hal penting bagi sains sebab dengan mengetahui hukum alam, semua pertanyaan dapat terjawab.

Jawaban Laplace ini dapat dikatakan mewakili pandangan ilmuwan Barat terhadap sains dan agama. Semenjak Copernicus melempar gagasan tentang Heliosentrisme pada abad ke-16, sains modern secara perlahan bergerak menjauhi agama. Sejak itu, mengaitkan sains dengan Tuhan dan agama dianggap sebagai gagasan absurd dan sia-sia. Segala keberadaan dan dinamika yang terjadi di alam bersumber dari hukum-hukum alam semata. 

Inilah yang dikatakan Hawking dalam The Grand Design (2010), “Their creation does not require the intervention of some supernatural being or god. Rather, these multiple universes arise naturally from physical law.” (Penciptaan tersebut tidak memerlukan intervensi kekuatan supranatural atau Tuhan, alam semesta ini muncul secara alami dari hukum-hukum fisika).

Sebagaimana diketahui, pengajaran sains di Indonesia pada umumnya berkiblat kepada negara-negara Barat, terutama Amerika dan Eropa. Itu terjadi karena ne gara-negara tersebut dipandang sebagai ne gara maju dalam sains dan teknologi. Indikasi sederhananya dapat dilihat dari kurikulum sains yang digunakan di sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia. Struktur materi dan isinya praktis copy-paste dari Barat.

Pada ranah ilmu fisika, misalnya, buku-buku pelajaran sains dipenuhi oleh teori-teori dari ilmuwan Barat, seperti Copernicus, Gauss, Descartes, Newton, Planck, Snellius, Maxwell, Pascall, Celcius, Boyle, Kirchoff, de-Broglie, Einstein, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kondisi yang serupa juga terjadi pada pelajaran sains lainnya, seperti biologi, kimia, dan astronomi.

Di dunia Barat, mengaitkan sains dengan Tuhan dan agama dipandang sebagai hal yang haram. Sebab, agama dipandang bukan sumber ilmu. Agama dianggap kumpulan dogma yang tidak ilmiah karena tidak bersifat empiris dan rasional. Agama bukan ilmu. Paradigma semacam ini turut mewarnai konsep pendidikan sains mereka.

Ironis jika cara pandang ateistik sema cam ini ikut mewarnai corak pendidikan sains di Indonesia. Agama dibuang jauh-jauh dari sains. Alquran dianggap bukan sumber ilmu. Padahal, Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sementara, UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas menyebutkan tujuan pendidikan nasional adalah mencetak warga negara yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME.
Rabu, 27 Maret 2013, 14:04 WIB
Komentar : 0
A+ | Reset | A-
Beberapa materi pelajaran IPA di Indonesia, jika dikaji dengan seksama, sebenarnya menyiratkan suatu pandangan hidup ateistik yang bertentangan dengan akidah Islam dan nilai dasar bangsa Indonesia. Misalnya, di dalam Pelajaran Fisika diajarkan hukum kekekalan energi dan materi. 

Di dalam hukum ini dinyatakan bahwa energi dan materi merupakan dua hal yang tidak bisa diciptakan ataupun di musnahkan (lihat, buku teks IPA Terpadu kelas IX, keluaran Pusbuk Depdiknas, 2008).

Teori semacam itu menyiratkan penolakan terhadap keberadaan dan kekuasaan Tuhan. Hal serupa juga dapat ditemukan pa da pembahasan tentang asal usul makhluk hidup di dalam pelajaran biologi. Di situ dikemukakan berbagai macam teori tentang asal usul makhluk hidup. Ada teori abiogenesis (makhluk hidup berasal dari benda mati), teori biogenesis (makhluk hidup berasal dari makhluk hidup), teori evolusi kimia (makhluk hidup berasal dari evolusi persenyawaan materi di alam), dan lain-lain. 

Meski berbeda konsep, kesemua teori ini menyiratkan satu kesamaan, yaitu penolakan terhadap adanya Tuhan Pencipta dan Pengatur Alam. Muncul pertanyaan, bagaimana mungkin anak-anak Muslim diajar akidah Islam di dalam pelajaran agama sementara pada sisi lain mereka dijejali ajaran atetistik di dalam pelajaran sains?

Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah betapa Tuhan telah hilang dari buku-buku IPA. Cobalah perhatikan bukubuku sains yang dipakai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Menyatakan rasa syukur kepada Allah saja ke dalam buku teks tersebut seolah-olah menjadi hal yang tabu. Padahal, betapa banyak bagian alam yang dikaruniakan Allah kepada manusia! 

Sementara itu, sedikit saja mencatumkan Alquran di buku pelajaran sains, sebagaimana yang dilakukan Harun Yahya, dicibir sebagai mencocok-cocokkan ayat dengan penemuan sains. Belum lama ini seorang profesor di salah perguruan tinggi ternama Indonesia memprotes Kurikulum 2013 yang membawa-bawa agama dalam pelajaran sains, padahal dia sendiri seorang Muslim. (http://edukasi.kompas.com/ Kurikulum 2013 Ditelanjangi di ITB).

Begitu banyak ayat Alquran yang memerintahkan orang-orang beriman untuk memperhatikan alam. Menurut Ratib an-Nabulsi, paling kurang ada 1.300 ayat atau seperlima Alquran berbicara mengenai alam ( 7 Pilar Kehidupan, Jakarta : Gema Insani Press, 2010).
Tujuannya adalah untuk mengenal Tuhan dan kebesaran-Nya sehingga semakin dalam keimanannya dan semakin besar rasa syukur mereka. Artinya, dalam perspektif Islam, memisahkan sains dengan keyakinan kepada Sang Pencipta bukan saja tidak tepat, melainkan bertentangan dengan akidah Islam.
Rabu, 27 Maret 2013, 14:04 WIB
Komentar : 0
A+ | Reset | A-
Para ilmuwan Muslim pada masa lalu sangat sering mengaitkan sains dengan agama. Perlu dicatat, perdebatan mengenai kaitan sains dan agama tidak pernah terjadi di dunia Islam, kecuali hanya pada seabad terakhir karena derasnya infiltrasi pemikiran Barat.

 Bagi ilmuwan Muslim, alam semesta adalah ayat-ayat Allah yang suci. Itu sebabnya mereka sering kali mengekspresikan keimanan mereka, bukan hanya dalam kitab-kitab ilmu agama, tapi juga dalam karya-karya sains mereka. Mereka bahkan tidak segan-segan mengutip Alquran di dalam karya-karya sains mereka.

Abu Rayhan al-Biruni, misalnya, ketika menjelaskan mengenai penglihatan di dalam karyanya Al-Jamahir fi Ma’rifat al- Jawahir ( Maktabah Syamilah) yang berisi berbagai teori sains geologi, mengatakan, “Adapun penglihatan kedudukannya mengambil ibrah dari apa yang kita lihat dengan tanda-tanda kebijaksanaan Allah dalam ciptaan-Nya dan sebagai alat untuk meminta petunjuk Allah SWT. 

Kemudian beliau mengutip surat Fushshilat ayat 53, ‘Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?’”

Tentunya akan terlalu panjang jika menyebut contoh-contoh serupa pada karya-karya ilmuwan Muslim lainnya. Sains yang integratif dengan ketauhidan inilah yang kini popular disebut “sains Islam”. Integrasi pengajaran sains dengan agama merupakan hal penting dan bukannya malah dihindari. Sebab, alam ini diciptakan Allah untuk mengantar manusia untuk semakin mengenal Tuhannya. Tentunya semua ini harus dilakukan dengan konsep pemikiran yang matang dan bukan sekadar menempelkan ayat sehingga dapat menurunkan martabat agama.

Untuk itu, sudah saatnya menggali lagi sejarah pengembangan sains di dunia Islam masa lampau. Dan, ini adalah kewajiban besar ilmuwan Muslim saat ini.

Wallahu a’lam bish shawab.


Islam Menyebar ke Barat dan Timur


Rabu, 27 Maret 2013, 11:48 WIB


wikipedia
Masjid Demak
A+ | Reset | A-
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa
Masjid Demak menjadi pusat kegiatan dakwah dan kesultanan.

Meski kekuasaannya tak berlangsung lama, Kesultanan Demak telah berkiprah besar dalam proses penyebaran Islam di Jawa. Inilah kesultanan Islam pertama yang menutup sejarah Hindu dan Buddha di nusantara, terutama Jawa. Di tengah kondisi carut-marutnya Majapahit, rakyat terombang-ambing dengan nasib mereka.

Penyebaran Islam seiring perluasan wilayah pun menjadi kiprah besar Kesultanan Demak. Berawal dari Demak, dakwah Islam menyebar ke Jawa Barat hingga Jawa Timur. Setiap perluasan wilayah yang dilakukan sultan, merupakan dakwah Islam. Bahkan, dari Demak inilah muncul kerajaan-kerajaan Islam kecil lain, seperti Cirebon dan Banten.

Saat pengiriman pasukan untuk pembebasan wilayah Hindu-Buddha dan dari kolonial Portugis, Demak tak mengambil alih kekuasaan di wilayah Jawa Barat maupun Jayakarta. Demak hanya memberi pengaruh dengan Islamisasi wilayah tersebut. Apapun kekuasaannya diberikan masing-masing wilayah. Hal yang sama juga dilakukan pada Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan.

Tak hanya di Jawa, pengaruh Kesultanan Demak di Banjar pun kemudian berkembang ke wilayah Kalimantan lain. Pada masa selanjutnya Kerajaan Kotawaringin menjadi Islam, demikian pula Kerajaan Kutai. Demak benar-benar menjadi tonggak perjuangan penyebaran Islam pada dasawarsa pertama di abad ke-16.

Setelah runtuh pun, Kesultanan Demak masih melahirkan kerajaan-kerajaan Islam lain yang terus bermunculan, seperti Kerajaan Pajang hingga Mataram. Demak menjadi pintu ibu kandung lahirnya kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa. Kesultanan ini pula yang pertama kali mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru Jawa.

"Islamisasi yang terjadi di beberapa kota pesisir utara Jawa dari bagian timur sampai ke barat lambat laun menyebabkan munculnya kerajaan-kerajaan Islam. Berturut-turut dari Demak ke arah barat muncul Cirebon dan Banten dan dari Demak ke arah pedalaman muncul kerajaan Pajang dan terutama Kerajaan Mataram," ujar Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia.
Wilayah-wilayah tersebut di masa itu merupakan pusat pengajaran dan penyebaran agama Islam. Sebagaimana Demak yang pertama kali menjadi pusat dakwah Islam yang menyebarkan pengaruhnya hingga seluruh Jawa. Penyebaran Islam tersebut tidak luput dari kiprah Wali Songo. 

Bahkan, awal mula pencetus ide dakwah melalui kesultanan berasal dari ide Sunan Ampel. Pendiri Kesultanan Demak, yakni Raden Fatah pun masih berhubungan darah dengan Sunan Ampel.

Tan Ta Sen dalam Cheng Ho, Penyebar Islam dari Cina ke Nusantaramenuturkan, hikayat-hikayat dan tradisi lisan Jawa menyebut adanya keterkaitan antara Champa dan kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Menurut hikayat, raja Hindu dari Kerajaan Majapahit menikahi seorang putri Muslim dari Raja Champa, yang kemudian dikenal dengan putri Champa. 

Kemenakan sang putri, Bong Swi Hoo, menyertainya ke Jawa kemudian berdakwah di kawasan Ampel. Ia banyak mengislamkan warga Ampel yang berlokasi di Jawa Timur tersebut. Dialah yang kemudian dikenal dengan nama Raden Rahmat atau bergelar Sunan Ampel.

Prof Dr Slamet Muljana, dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara mengatakan, bukti sultan Demak dan beberapa Wali Songo merupakan peranakan Cina terdapat dalam Kronik Klenteng Sam Po Kong di Semarang. Raden Fatah memiliki nama Cina Jin Bun, sebagaimana Sunan Ampel yang memiliki nama asli Bong Swi Hoo. Selain itu, berdasarkan sejarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja-raja Demak beserta leluhurnya pun tertulis dalam bahasa Cina.

Tak hanya hubungan kerabat, dalam mendirikan kesultanan pun, Raden Patah disokong oleh para sunan. Maka dalam penyebaran Islam, tak luput dari kiprah para sunan. Masyarakat Jawa tidak serta-merta dengan mudah menerima Islam yang dikenalkan Kesulatanan Demak. Namun, atas jasa wali songo, penyebaran tersebut berjalan lancar.


Masjid Demak
Kesuksesan penyebaran Islam oleh Kesultanan Demak pun tak lepas dari kehadiran Masjid Demak. Masjid inilah yang menjadi lambang kekuasaan Islam kesultanan tersebut. Dalam Ensiklopedi Islam disebut, menurut legenda masjid ini didirikan oleh Wali Songo secara bersama-sama dalam tempo semalam.

Babad Demak menyatakan masjid tersebut didirikan pada tahun 1399 Saka atau 1477 Masehi. Namun, dalam gambar bulus di mihrab masjid terdapat lambang tahun Saka 1401 yang menunjukkan Masjid Demak berdiri pada tahun 1479 Masehi. Inilah masjid tertua di Pulau Jawa.

Di Masjid Demak itulah para wali biasa berkumpul bertukar pikiran. Masjid ini pula yang menjadi markas penyebaran dakwah sekaligus pusat kegiatan Kesultanan Demak. Dari masjid, para wali dan sultan Demak mengadakan ekspansi yang dibarengi kegiatan dakwah Islam ke seluruh Jawa. 

"Masjid tersebut telah memengaruhi alam pikiran orang Jawa selama berabad-abad, menjadi pusat kegiatan ibadat dan keagamaan, pusat kerajaan Islam pertama di Jawa (Kesultanan Demak)," tulis Ensiklopedi Islam.

Menurut Marwati dan Nugroho, pendirian Masjid Agung Demak oleh para wali dengan arsiteknya Sunan Kali Jaga merupakan pusat dakwah para wali, termasuk Wali Sanga. Yakni Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Darajat, Sunan Giri, dan Sunan Gresik.