Rabu, 27 Maret 2013, 14:04 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Wendi Zarman
Suatu ketika, Napoleon bertanya kepada Laplace (m 1827), seorang matematikawan besar Prancis tentang siapakah Pengarang alam semesta yang ajaib ini. Laplace menjawab, “Saya tidak membutuhkan hipotesis itu.” (Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme, Bandung : Mizan, 2009).
Suatu ketika, Napoleon bertanya kepada Laplace (m 1827), seorang matematikawan besar Prancis tentang siapakah Pengarang alam semesta yang ajaib ini. Laplace menjawab, “Saya tidak membutuhkan hipotesis itu.” (Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme, Bandung : Mizan, 2009).
Bagi Laplace, ada atau tidak ada Tuhan bukanlah hal penting bagi sains sebab dengan mengetahui hukum alam, semua pertanyaan dapat terjawab.
Jawaban Laplace ini dapat dikatakan mewakili pandangan ilmuwan Barat terhadap sains dan agama. Semenjak Copernicus melempar gagasan tentang Heliosentrisme pada abad ke-16, sains modern secara perlahan bergerak menjauhi agama. Sejak itu, mengaitkan sains dengan Tuhan dan agama dianggap sebagai gagasan absurd dan sia-sia. Segala keberadaan dan dinamika yang terjadi di alam bersumber dari hukum-hukum alam semata.
Inilah yang dikatakan Hawking dalam The Grand Design (2010), “Their creation does not require the intervention of some supernatural being or god. Rather, these multiple universes arise naturally from physical law.” (Penciptaan tersebut tidak memerlukan intervensi kekuatan supranatural atau Tuhan, alam semesta ini muncul secara alami dari hukum-hukum fisika).
Sebagaimana diketahui, pengajaran sains di Indonesia pada umumnya berkiblat kepada negara-negara Barat, terutama Amerika dan Eropa. Itu terjadi karena ne gara-negara tersebut dipandang sebagai ne gara maju dalam sains dan teknologi. Indikasi sederhananya dapat dilihat dari kurikulum sains yang digunakan di sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia. Struktur materi dan isinya praktis copy-paste dari Barat.
Pada ranah ilmu fisika, misalnya, buku-buku pelajaran sains dipenuhi oleh teori-teori dari ilmuwan Barat, seperti Copernicus, Gauss, Descartes, Newton, Planck, Snellius, Maxwell, Pascall, Celcius, Boyle, Kirchoff, de-Broglie, Einstein, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kondisi yang serupa juga terjadi pada pelajaran sains lainnya, seperti biologi, kimia, dan astronomi.
Di dunia Barat, mengaitkan sains dengan Tuhan dan agama dipandang sebagai hal yang haram. Sebab, agama dipandang bukan sumber ilmu. Agama dianggap kumpulan dogma yang tidak ilmiah karena tidak bersifat empiris dan rasional. Agama bukan ilmu. Paradigma semacam ini turut mewarnai konsep pendidikan sains mereka.
Ironis jika cara pandang ateistik sema cam ini ikut mewarnai corak pendidikan sains di Indonesia. Agama dibuang jauh-jauh dari sains. Alquran dianggap bukan sumber ilmu. Padahal, Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sementara, UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas menyebutkan tujuan pendidikan nasional adalah mencetak warga negara yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME.
Jawaban Laplace ini dapat dikatakan mewakili pandangan ilmuwan Barat terhadap sains dan agama. Semenjak Copernicus melempar gagasan tentang Heliosentrisme pada abad ke-16, sains modern secara perlahan bergerak menjauhi agama. Sejak itu, mengaitkan sains dengan Tuhan dan agama dianggap sebagai gagasan absurd dan sia-sia. Segala keberadaan dan dinamika yang terjadi di alam bersumber dari hukum-hukum alam semata.
Inilah yang dikatakan Hawking dalam The Grand Design (2010), “Their creation does not require the intervention of some supernatural being or god. Rather, these multiple universes arise naturally from physical law.” (Penciptaan tersebut tidak memerlukan intervensi kekuatan supranatural atau Tuhan, alam semesta ini muncul secara alami dari hukum-hukum fisika).
Sebagaimana diketahui, pengajaran sains di Indonesia pada umumnya berkiblat kepada negara-negara Barat, terutama Amerika dan Eropa. Itu terjadi karena ne gara-negara tersebut dipandang sebagai ne gara maju dalam sains dan teknologi. Indikasi sederhananya dapat dilihat dari kurikulum sains yang digunakan di sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia. Struktur materi dan isinya praktis copy-paste dari Barat.
Pada ranah ilmu fisika, misalnya, buku-buku pelajaran sains dipenuhi oleh teori-teori dari ilmuwan Barat, seperti Copernicus, Gauss, Descartes, Newton, Planck, Snellius, Maxwell, Pascall, Celcius, Boyle, Kirchoff, de-Broglie, Einstein, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kondisi yang serupa juga terjadi pada pelajaran sains lainnya, seperti biologi, kimia, dan astronomi.
Di dunia Barat, mengaitkan sains dengan Tuhan dan agama dipandang sebagai hal yang haram. Sebab, agama dipandang bukan sumber ilmu. Agama dianggap kumpulan dogma yang tidak ilmiah karena tidak bersifat empiris dan rasional. Agama bukan ilmu. Paradigma semacam ini turut mewarnai konsep pendidikan sains mereka.
Ironis jika cara pandang ateistik sema cam ini ikut mewarnai corak pendidikan sains di Indonesia. Agama dibuang jauh-jauh dari sains. Alquran dianggap bukan sumber ilmu. Padahal, Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sementara, UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas menyebutkan tujuan pendidikan nasional adalah mencetak warga negara yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME.
Beberapa materi pelajaran IPA di Indonesia, jika dikaji dengan seksama, sebenarnya menyiratkan suatu pandangan hidup ateistik yang bertentangan dengan akidah Islam dan nilai dasar bangsa Indonesia. Misalnya, di dalam Pelajaran Fisika diajarkan hukum kekekalan energi dan materi.
Di dalam hukum ini dinyatakan bahwa energi dan materi merupakan dua hal yang tidak bisa diciptakan ataupun di musnahkan (lihat, buku teks IPA Terpadu kelas IX, keluaran Pusbuk Depdiknas, 2008).
Teori semacam itu menyiratkan penolakan terhadap keberadaan dan kekuasaan Tuhan. Hal serupa juga dapat ditemukan pa da pembahasan tentang asal usul makhluk hidup di dalam pelajaran biologi. Di situ dikemukakan berbagai macam teori tentang asal usul makhluk hidup. Ada teori abiogenesis (makhluk hidup berasal dari benda mati), teori biogenesis (makhluk hidup berasal dari makhluk hidup), teori evolusi kimia (makhluk hidup berasal dari evolusi persenyawaan materi di alam), dan lain-lain.
Meski berbeda konsep, kesemua teori ini menyiratkan satu kesamaan, yaitu penolakan terhadap adanya Tuhan Pencipta dan Pengatur Alam. Muncul pertanyaan, bagaimana mungkin anak-anak Muslim diajar akidah Islam di dalam pelajaran agama sementara pada sisi lain mereka dijejali ajaran atetistik di dalam pelajaran sains?
Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah betapa Tuhan telah hilang dari buku-buku IPA. Cobalah perhatikan bukubuku sains yang dipakai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Menyatakan rasa syukur kepada Allah saja ke dalam buku teks tersebut seolah-olah menjadi hal yang tabu. Padahal, betapa banyak bagian alam yang dikaruniakan Allah kepada manusia!
Sementara itu, sedikit saja mencatumkan Alquran di buku pelajaran sains, sebagaimana yang dilakukan Harun Yahya, dicibir sebagai mencocok-cocokkan ayat dengan penemuan sains. Belum lama ini seorang profesor di salah perguruan tinggi ternama Indonesia memprotes Kurikulum 2013 yang membawa-bawa agama dalam pelajaran sains, padahal dia sendiri seorang Muslim. (http://edukasi.kompas.com/ Kurikulum 2013 Ditelanjangi di ITB).
Begitu banyak ayat Alquran yang memerintahkan orang-orang beriman untuk memperhatikan alam. Menurut Ratib an-Nabulsi, paling kurang ada 1.300 ayat atau seperlima Alquran berbicara mengenai alam ( 7 Pilar Kehidupan, Jakarta : Gema Insani Press, 2010).
Di dalam hukum ini dinyatakan bahwa energi dan materi merupakan dua hal yang tidak bisa diciptakan ataupun di musnahkan (lihat, buku teks IPA Terpadu kelas IX, keluaran Pusbuk Depdiknas, 2008).
Teori semacam itu menyiratkan penolakan terhadap keberadaan dan kekuasaan Tuhan. Hal serupa juga dapat ditemukan pa da pembahasan tentang asal usul makhluk hidup di dalam pelajaran biologi. Di situ dikemukakan berbagai macam teori tentang asal usul makhluk hidup. Ada teori abiogenesis (makhluk hidup berasal dari benda mati), teori biogenesis (makhluk hidup berasal dari makhluk hidup), teori evolusi kimia (makhluk hidup berasal dari evolusi persenyawaan materi di alam), dan lain-lain.
Meski berbeda konsep, kesemua teori ini menyiratkan satu kesamaan, yaitu penolakan terhadap adanya Tuhan Pencipta dan Pengatur Alam. Muncul pertanyaan, bagaimana mungkin anak-anak Muslim diajar akidah Islam di dalam pelajaran agama sementara pada sisi lain mereka dijejali ajaran atetistik di dalam pelajaran sains?
Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah betapa Tuhan telah hilang dari buku-buku IPA. Cobalah perhatikan bukubuku sains yang dipakai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Menyatakan rasa syukur kepada Allah saja ke dalam buku teks tersebut seolah-olah menjadi hal yang tabu. Padahal, betapa banyak bagian alam yang dikaruniakan Allah kepada manusia!
Sementara itu, sedikit saja mencatumkan Alquran di buku pelajaran sains, sebagaimana yang dilakukan Harun Yahya, dicibir sebagai mencocok-cocokkan ayat dengan penemuan sains. Belum lama ini seorang profesor di salah perguruan tinggi ternama Indonesia memprotes Kurikulum 2013 yang membawa-bawa agama dalam pelajaran sains, padahal dia sendiri seorang Muslim. (http://edukasi.kompas.com/ Kurikulum 2013 Ditelanjangi di ITB).
Begitu banyak ayat Alquran yang memerintahkan orang-orang beriman untuk memperhatikan alam. Menurut Ratib an-Nabulsi, paling kurang ada 1.300 ayat atau seperlima Alquran berbicara mengenai alam ( 7 Pilar Kehidupan, Jakarta : Gema Insani Press, 2010).
Tujuannya adalah untuk mengenal Tuhan dan kebesaran-Nya sehingga semakin dalam keimanannya dan semakin besar rasa syukur mereka. Artinya, dalam perspektif Islam, memisahkan sains dengan keyakinan kepada Sang Pencipta bukan saja tidak tepat, melainkan bertentangan dengan akidah Islam.
Para ilmuwan Muslim pada masa lalu sangat sering mengaitkan sains dengan agama. Perlu dicatat, perdebatan mengenai kaitan sains dan agama tidak pernah terjadi di dunia Islam, kecuali hanya pada seabad terakhir karena derasnya infiltrasi pemikiran Barat.
Bagi ilmuwan Muslim, alam semesta adalah ayat-ayat Allah yang suci. Itu sebabnya mereka sering kali mengekspresikan keimanan mereka, bukan hanya dalam kitab-kitab ilmu agama, tapi juga dalam karya-karya sains mereka. Mereka bahkan tidak segan-segan mengutip Alquran di dalam karya-karya sains mereka.
Abu Rayhan al-Biruni, misalnya, ketika menjelaskan mengenai penglihatan di dalam karyanya Al-Jamahir fi Ma’rifat al- Jawahir ( Maktabah Syamilah) yang berisi berbagai teori sains geologi, mengatakan, “Adapun penglihatan kedudukannya mengambil ibrah dari apa yang kita lihat dengan tanda-tanda kebijaksanaan Allah dalam ciptaan-Nya dan sebagai alat untuk meminta petunjuk Allah SWT.
Kemudian beliau mengutip surat Fushshilat ayat 53, ‘Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?’”
Tentunya akan terlalu panjang jika menyebut contoh-contoh serupa pada karya-karya ilmuwan Muslim lainnya. Sains yang integratif dengan ketauhidan inilah yang kini popular disebut “sains Islam”. Integrasi pengajaran sains dengan agama merupakan hal penting dan bukannya malah dihindari. Sebab, alam ini diciptakan Allah untuk mengantar manusia untuk semakin mengenal Tuhannya. Tentunya semua ini harus dilakukan dengan konsep pemikiran yang matang dan bukan sekadar menempelkan ayat sehingga dapat menurunkan martabat agama.
Untuk itu, sudah saatnya menggali lagi sejarah pengembangan sains di dunia Islam masa lampau. Dan, ini adalah kewajiban besar ilmuwan Muslim saat ini.
Bagi ilmuwan Muslim, alam semesta adalah ayat-ayat Allah yang suci. Itu sebabnya mereka sering kali mengekspresikan keimanan mereka, bukan hanya dalam kitab-kitab ilmu agama, tapi juga dalam karya-karya sains mereka. Mereka bahkan tidak segan-segan mengutip Alquran di dalam karya-karya sains mereka.
Abu Rayhan al-Biruni, misalnya, ketika menjelaskan mengenai penglihatan di dalam karyanya Al-Jamahir fi Ma’rifat al- Jawahir ( Maktabah Syamilah) yang berisi berbagai teori sains geologi, mengatakan, “Adapun penglihatan kedudukannya mengambil ibrah dari apa yang kita lihat dengan tanda-tanda kebijaksanaan Allah dalam ciptaan-Nya dan sebagai alat untuk meminta petunjuk Allah SWT.
Kemudian beliau mengutip surat Fushshilat ayat 53, ‘Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?’”
Tentunya akan terlalu panjang jika menyebut contoh-contoh serupa pada karya-karya ilmuwan Muslim lainnya. Sains yang integratif dengan ketauhidan inilah yang kini popular disebut “sains Islam”. Integrasi pengajaran sains dengan agama merupakan hal penting dan bukannya malah dihindari. Sebab, alam ini diciptakan Allah untuk mengantar manusia untuk semakin mengenal Tuhannya. Tentunya semua ini harus dilakukan dengan konsep pemikiran yang matang dan bukan sekadar menempelkan ayat sehingga dapat menurunkan martabat agama.
Untuk itu, sudah saatnya menggali lagi sejarah pengembangan sains di dunia Islam masa lampau. Dan, ini adalah kewajiban besar ilmuwan Muslim saat ini.
Wallahu a’lam bish shawab.